I. PENDAHULUAN
Tubuh
dilengkapi dengan alat indra baik berupa fisik maupun kimia yang dapat menerima
rangsang sehingga dapat mengetahui berbagai perubahan lingkungan. Berbagai
perubahan lingkungan yang diterima oleh alat indra tersebut dilaporkan ke otak
untuk selanjutnya dilakukan penyesuaian dengan cara perubahan tingkah laku atau
metabolisme tubuh untuk mengatasi gangguan keseimbangan. Perubahan pola tingkah
laku ikan sebagai respon dalam melakukan adaptasi di habitatnya merupakan hal
yang sangat penting diketahui pada bidang perikanan baik dalam pengembangan
teknologi penangkapan ikan maupun pembudidayaan ikan.
Peranan
ilmu fisiologi ikan sangat signifikan dalam menunjang perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi penangkapan dan pembudidayaan ikan. Ilmu fisiologi
ikan diperlukan untuk mengungkap informasi detail terkait dengan pola tingkah
laku ikan sebagai manifestasi respon fisiologis terhadap stimuli dari
dalam/luar lingkungan ekologinya. Dalam melakukan aktivitasnya, ada
kebiasaan-kebiasaan tertentu pada ikan yang melibatkan reseptor kimia
diantaranya adalah pencarian makan, pengenalan jenis kelamin (seks) pada suatu
kelompok, membedakan antar individu
pada satu kelompok spesies yang sama (schooling) atau kelompok yang berbeda
(shoaling), mendeteksi penempatan dan kehadiran makanan, mencari pasangan,
pemangsaan, atau mencari lokasi tempat bertelur (Hara 1993 dalam Purbayanto
2010).
Sinyal
kimia membawa informasi dari satu hewan ke hewan lainnya. Sinyal tersebut
diterima oleh organ pembau (olfactory) dan pengecap (gustatory). Sebagaimana
yang dimiliki hewan darat, ian juga memiliki sinyal kimia yang dinamakan
allomon dan feromon, bahan kimia yang disekresi dan disampaikan ke reseptor
pembau dengan reaksi yang spesifik. Allomon adalah perantara kimia dengan
adaptasi pada anggota spesies yang tidak sama yang berfungsi untuk menyerang
atau untuk pertahanan. Sebaliknya, feromon bereaksi cepat diantara individu
dalam spesies yang sama.
Seperti
pada invertebrate dan vertebrata lainnya, ikan juga mengandalkan sistem
komunikasi multisensoris dalam interaksi sosial dan seksualnya. Salah satu
sistem indra yang digunakan dalam interaksi ikan baik terhadap lingkungan
maupun pendeteksian makanan adalah indra penciuman. Indra penciuman sangat
berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup ikan. Fungsi penciuman ini biasanya
melibatkan suatu senyawa kimia yang disebut feromon. Oleh karena itu, dalam
makalah ini kami akan membahas secara lebih jauh tentang fungsi feromon dalam
interaksi dan perilaku seksual ikan.
II.
PEMBAHASAN
A.
Organ
Penciuman
Dalam
penerimaan rangsangan penciuman pada ikan seperti hewan lainnya yang berperan
adalah olfactory bulb (Stower dan Logan2010).
Secara umum olfaktori yang terdapat pada ikan serupa dengan organ nasal atau
penciuman yang terdapat pada manusia, namun lubang/cuping hidung pada ikan
jarang terbuka. Dasar bentuk hidung dibentuk oleh epithelium penciuman atau
mukosa berupa lipatan/lamella berbentuk bunga ros (Gambar 1). Susunan bentuk
dan tingkatan perkembangan lamella sangat bervariasi pada setiap spesies.
Gambar1.
Susunan atau bentuk lamella
Keterangan:
a. Posisi
cuping hidung teleostei, b. epithelium olfactory; (vo) hidung depan; (ho)
hidung belakang; (H) kulit yang menahan pergerakan aiar masuk ke dalam hidung
depan
Organ
penciuman ikan sangat berbeda dengan hewan lain. Menurut Evans (1940)
cyclostomes pada ikan adalah monorhinal, yaitu mempunyai satu organ penciuman
dengan satu lubang hidung. Secara umum, olfactory serupa dengan organ nasal
untuk penciuman manusia. Akan tetapi struktur bentuk dan sistematika fungsinya
terdapat perbedaan. Pada sebagian besar hewan bertulang belakang, letak olfactory bulb berdekatan dengan dinding
rongga hidung dan bidang olfaktorinya pendek. Pada jenis ikan yang bertulang
keras, letak olfaktori bulb
dipisahkan dari telencephalon oleh bidango lfactory yang panjang (Hoar dan
Randall 1970). Jadi, sistem penciuman ikan berisi tiga komponen neuroanatomikal
yaitu epithelium penciuman, olfactory bulb, dan bidang terminal dalam otak
(saraf pusat) (Stacey dkk., 2010).
Bau-bau
umpan/makanan terlarut dalam air akan merangsang reseptor pada organ penciuman
ikan sehingga menimbulkan reaksi terhadap ikan tersebut. Ikan mendeteksi adanya
reseptor pembau dalam bentuk stimulus kimia. Stimulus tersebut melalui lubang
hidung (nostril) dirubah dalam bentuk signal elektrik yang berasal dari gerakan
silia yang kemudian melewati olfactory lamella yang berbentuk rosette. Sinyal
yang dihasilkan pada olfactory lamella diteruskan pada olfactory bulb dan
olfactory tract yang kemudian diterjemahkan pada otak telencephalon.
Gambar 2. Struktur organ penciuman pada ikan mulai dari
organ lamella hingga otak bagian telenchepalon (dilihat pada posisi dorsal)
Penciuman ikn sangat sensitif terhadap bahan organik
maupun anorganik yang dikenal melalui indera penciuman. Selanjutnya terdapat
pula ikan yang dapat mengenal bau mangsanya, predator dan spesies sejenis.
Bau-bau tersebut terlarut dalam air dan merangsang reseptor pada organ
penciuman ikan sehingga menimbulkan reaksi pada ikan tersebut.
Fungsi
organ olfactory pada ikan merupakan salah satu sistem reseptor kimia yang
beradaptasi terhadap substansi kimia spesifik lingkungan, baik berupa bahan
organic maupun anorganik. Dalam berbagai pola tingkah laku ikan, fungsi tambahan
dari olfactory antara lain homing, migrasi, social, seksual dan perilaku yang
berkenaan dengan kematangan gonad (Hara dalam Purbayanto 2010).
B.
Feromon
dan fungsinya dalam respon penciuman ikan
Feromon, berasal dari bahasa Yunani
‘phero’ yang artinya ‘pembawa’ dan ‘mone’ ‘sensasi’. Feromon merupakan sejenis
zat kimia yang berfungsi untuk merangsang dan memiliki daya pikat seks pada
hewan jantan maupun betina. Zat ini berasal dari kelenjar eksokrin dan
digunakan oleh makhluk hidup untuk mengenali sesama jenis, individu lain,
kelompok, dan untuk membantu proses reproduksi. Berbeda dengan hormon, feromon
menyebar ke luar tubuh dan hanya dapat mempengaruhi dan dikenali oleh individu
lain yang sejenis (satu spesies) (Anonim, 2011).
Feromon merupakan
subklas dari semiochemical yang digunakan untuk berkomunikasi antar species (intracpecific
chemical signal). Sebenarnya feromon merupakan substansi yang disekresikan oleh
setiap individu dan diterima oleh individu yang lain dalam satu spesies pada
perilaku khusus mereka, misalnya dalam perilaku harian (releaser feromon)
proses perkembangan/ primer feromon. Kata feromon berasal dari bahasa yunani,
yaitu pherein yang berarti membawa atau mentransfer dan dari kata hormone yang
artinya menarik atau menstimulasi. Kerja feromon diantara individu berlawanan
dengan kerja hormone sebagai signal internal dalam satu individu. Beberapa
fungsi feromon yaitu sebagai sex
pheromone dan aggregation pheromone.
Selain itu, menurut Green
(2012) dalam penelitiannya tentang Automated
high-throughput neurofenotipe perilaku sosial ikan zebra, feromon dapat menghasilkan
peningkatan shoaling pada ikan Zebra. Feromon digunakan sebagai cara oleh beberapa hewan yang berbeda untuk
berkembangbiak, yaitu digunakan untuk mengenali jenisnya. Dalam
suatu populasi pheromon berfungsi untuk menunjukkan status suatu individu ikan
agar dapat dikenali oleh individu lainnya. Feromon
sebagai isyarat kimia banyak digunakan oleh spesies-spesies centrarchid,
salmonid (jenis ikan-ikan salmon), cyprinid
(jenis ikan hias), cyprinodontiform (jenis ikan hias),
esocid (kelompok ikan air tawar atau air payau), dan poeciliid (jenis ikan hias) (Elvidge dan Brown, 2012). Ikan-ikan betina yang
siap memijah biasanya akan mengeluarkan pheromon atau bau-bauan tertentu
sehingga dapat menarik kehadiran ikan jantan. Pheromon dan bau-bauan juga
digunakan untuk mengenali kehadiran ikan lain yang berbeda spesies atau berasal
dari populasi yang berbeda. Mekanisme ini digunakan oleh ikan untuk
mempertahankan daerah teritorialnya dari ikan asing. Pada ikan Goldfish,
sex pheromone juga digunakan oleh ikan jantan untuk membedakan ikan betina yang
sudah matang kelamin dengan ikan betina yang belum matang kelamin (Anonim,
2011).
Senyawa feromon dapat menimbulkan rasa ketertarikan antara spesies yang berlainan
jenis dimana cara kerjanya sebagaimana layaknya inisiator/pemicu dalam
reaksi-reaksi kimia. Prosesnya adalah ketika spesies yang berlainan jenis
berdekatan dan bertatapan mata, maka feromon yang kasat mata dan volatil, akan
tercium oleh organ tubuh manusia yang paling sensitif yaitu vomeronasalorgan
(VNO) yaitu organ dalam lubang hidung yang mempunyai kepekaan ribuan kali lebih
besar daripada indera penciuman. Organ VNO ini terhubung dengan hipotalamus
pada bagian tengah otak melalui jaringan-jaringan syaraf.
Setiap feromon
berhembus dari tubuh, maka senyawa ini akan tercium oleh VNO dan selanjutnya
sinyal ini akan diteruskan ke hipotalamus (yang mengatur emosi manusia) agar
memberikan respon/tanggapan. Tanpa perlu menunggu lama hanya setiap
sepersepuluh ribu detik, maka akan ada respon dari otak melalui perubahan
psikologis tubuh manusia baik itu perubahan pada detak jantung (berdetak lebih
kencang), pernafasan (beraturan atau tidak), temperatur tubuh (panas dingin),
nafsu, peningkatan pada kalenjar hormon baik itu kalenjar keringat, dan kerja
dari produksi hormon testoteron (pada jantan) atau hormon esterogen (pada
betina) (Anonim, 2010).
Tabel 1. Klasifikasi isyarat
penciuman dan signifikansi perilaku
|
Feromon
|
Isyarat Naluriah
|
Bau
|
Defenisi sosial
Contoh
|
Isyarat
kimia yang dipancarkan oleh salah satu anggota spesies yang memprovokasi
perilaku tertentu atau respon fisiologi ketika terdeteksi oleh anggota yang
lain dari spesies yang sama
Protein
urin utama (Mups) ditemukan dalam urin mencit jantan dewasa yang menginisiasi
perilaku agresif pada pejantan saingannya
|
Isyarat
kimia yang mengasoasikan suatu konservasi, perilaku stereotip dari eksposur
pertama dan berikutnya
Bau
nasi basih membuat penghindaran pada hewan pengerat
|
Bahan
kimia yang mengkodekan secara kontekstual bergantung pada kualitas persepsi
dan dapat memicu asosiasi atau pembelajaran perilaku dengan pelatihan yang
tepat
Tikus
dengan cepat belajar bau yang dipasangkan dengan hadiah dan akan lebih
memilih bau pada eksposur berikutnya
|
C.
Mekanisme kerja
Feromon pada Ikan
Pada dasarnya,
semua organisme termasuk selain insecta, menghasilkan feromon melalui kelenjar
eksokrin. Kelenjar eksokrin adalah kelenjar yang mempunyai saluran untuk
mengeluarkan produknya atau bermuara pada permukaan apikal. Setelah kelenjar
eksokrin memproduksi feromon, feromon akan diteruskan ke abdomen. Dari abdomen,
feromon akan dikeluarkan dan akan ditangkap berupa sinyal pada spesies sejenisnya. Sinyal tersebut kemudian diterjemahkan
menjadi sebuah rangsangan.
Ransangan yang
diterjemahkan dari sinyal kimia yang dihasilkan dikatakan berhasil saat mencapai konsentrasi
tertentu. Artinya, semakin dekat jarak antara spesies yang mengeluarkan
rangsangan dan target penerima ragsangan maka konsentrasinya semakin tinggi,
demikian pula semakin menjauh dari sumber emisi konsentrasi semakin rendah dan
tidak mampu menimbulkan rangsang. Dengan demikian terbentuk semacam ruang
tempat suatu spesies atau organisme lain menangkap isyarat atau rangsang
kimiawi untuk kemudian bereaksi menanggapi rangsang tersebut. Selain itu. Jika
feromon dilepaskan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka ruang kaif akan
menjadi cukup besar. Ruang aktif yang lebih besar diperlukan bila penerima
rangsangan memiliki alat deteksi isyarat yang sangat peka dibandingkan bila
penerima memiliki alat yang peka. Namun adapula feromon yang mampu menarik
spesies lawan jenis pada jarak yang cukup jauh, ada pula yang bekerja pada
jarak dekat dan penerima rangsang menanggapinya dengan serangkaian perilaku
“courtship” atau mencari pasangan. Feromon seperti ini tidak diproduksi secara
terus menerus,tetapi hanya ketika suatu spesies mencapai usia cukup dewasa
untuk kawin.
D.
Fungsi feromon
pada Ikan
Secara umum feromon pada ikan digunakan
dalam interaksi sosial dan perilaku seksualnya.
1.
Dalam interaksi sosial, feromon diguanakan sebagai alarm dan
pengenalan spesies, pengenalan wilayah dan untuk pendeteksian, pemilihan dan
pengenalan makanan.
a. Alarm dan pengenalan spesies
Feromon sebagai alarm biasanya
digunakan ketika terjadi suatu keadaan bahaya. Dalam hal ini biasanya ikan-ikan
akan mengeluarkan zat berupa lendir yang dikeluarkan melalui permukaan kulit
dalam jumlah sedikit khusus untuk ikan ostariophysi (jenis ikan teleostei yang
memiliki cirri-ciri bersisik/tidak, bersungut/tidak bersungut, memiliki duri
tunggal atau berbelah dibagian muka atau bawah mata, pinggir ronggga mata bebas
atau tertutup kulit, mulut agak kebawah dan tidak memiliki jari-jari lemah).
Selain itu, pada ikan minnow (Phoksinus phoksinus) menyimpan feromon dalam sel
epidermis khusus yang hanya akan terlepas jika sel tersebut rusak karena adanya
gangguan dari lingkungan. Jika hal ini terjadi, ikan lain akan menyebar dan menghindar
dari serangan lanjutan (Purbayanto dkk., 2010).
Selain itu, feromon juga dapat
mempengaruhi tingkah laku social ikan khususnya untuk membedakan antara dua
ikan dari spesies yang sama serta pola tingkah laku ikan ketika terjadi
persaingan dan pada akhirnya ada yang mengambil sikap menyerah ketika salah
satu pihak sudah keluar menjadi pemenang (Fujaya, 2004).
Maruska dan Fernald (2012)
menyatakan bahwa pada ikan A. burtoni
yang dominan, fungsi feromon dalam tingkah laku sosialnya dikeluarkan melalui urin.
Sinyal kimia urin digunakan dihadapan pejantan dominan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa, selain sinyal
visual seperti perubahan warna [misalnya eye-bar gelap selama agresi dan perilaku teritorial [misalnya menampilkan lateral, ancaman frontal, mengejar, gigitan, perebutan perbatasan], pejantan dapat memanfaatkan komunikasi kimia untuk menyampaikan tingkatan sosial, kepemilikan wilayah, motivasi atau tingkat agresi. Dengan demikian, hal itu juga mungkin menunjukkan
bahwa pelepasan urin dari
pejantan yang
dominan berfungsi untuk menekan pejantan dominan lain
di dekatnya, terlepas dari konteks sosial tertentu (misalnya teritorial atau reproduksi). Pejantan dominan ikan Nila O. mossambicus juga terbukti menyimpan urin dan kemudian melepaskannya untuk secara aktif menunjukkan status dominasi mereka, mungkin untuk memodulasi tingkat agresi pada pejantan saingannya dalam lek.
Selain ikan Nila,
Imrei dkk (2011) juga menyebutkan bahwa jenis ikan Lamprey juga
memanfaatkan sinyal kimia sebagai alarm untuk mengetahui adanya predator.
Sinyal kimia tersebut dianggap dapat lebih menguntungkan
dibandingkan
isyarat visual karena mereka bisa bertahan lebih lama di lingkungan dan dapat memberikan informasi tentang keberadaan predator yang tersembunyi
atau yang disamarkan oleh warna, gelap atau kekeruhan dari air. Berikut adalah gambaran tahapan
evolusi sinyal kimia ikan sebgai respon terhadap rangsangan dari lingkungan.
Gambar 3. Tahapan evolusi sinyal kimia ikan
sebagai respon atas rangsangan dari lingkungan
Berdasarkan gambar 2 dapat diketahui
bahwa pada awalnya ketika seekor ikan (ikan A) mengeluarkan suatu zat kimia,
ikan lain (ikan B) biasanya tidak akan langsung merespon dengan mengeluarkan
zat kimia dalam tubuhnya juga. Tetapi ia akan bertindak spionase atau
memata-matai ikan A yang secara terus menerus mengeluarkan zat kimianya. Lama
kelamaan ikan B akan merespon dengan cara mengeluarkan pula zat kimia dari
dalam tubuhnya sehingga terbentuklah komunikasi antara pemberi signal dan
penerima respon.
b.
Pengenalan wilayah
Peranan feromon dalam pengenalan
wilayah dapat dicermati pada tingkah laku ikan salmon yang melakukan pemijahan
di sungai kemudian bermigrasi kelaut dan kembali lagi kesungai ketika akan
meninggal. Feromon merupakan penggerak bagi larva ikan salmon (smolt) selama
melakukan migrasi kelaut. Dalam perjalanannya menuju laut, smolt akan merekam
berbagai ciri-ciri bau khusus sepanjang perjalanannya pada electroencephalogram
yang terdapat pada indra penciuman. Bau ini diduga tidak hanya dari feron
tetapi juga dari lingkungan seperti bau tanah dan tumbuhan yang dijumpai.
Selanjutnya orientasi migrasi kembali kesungai bergantung pada pengenalan
karakter bau air yang terekam selama migrasi ke laut pada fase smolt.
Feromon memegang peranan penting
didalam komunikasi ikan. Pada ikan, feromon memiliki berbagai fungsi
diantaranya adalah sebagai pembawa pesan bahwa keadaan dalam bahaya, signal
untuk membedakan dua ikan dari spesies yang sama.
c.
Pendeteksian, pemilihan dan pengenalan makanan
Berdasarkan penelitian tentang
pengenalan makanan pada ikan air tawar dan ikan air laut dengan organ
olfactory, ikan dapat mengenali makanan melalui bau. Pendeteksian mangsa jenis
ikan Ictalurus nebulosus hilang ketika olfaction terhalangi. Sebaliknya, jenis
bullhead menunjukkan perilaku pencarian makan menggunakan organ penciuman
epitheliumnya, bahkan dengan forebreinnya (Purbayanto dkk., 2010).
Berbeda dengan ikan lainnya, ikan
Madidihang dapat mendeteksi dan membedakan antara bau mangsa secara tetap.
Berdasarkan penelitian Widhiastuti (2007), bahwa umpan yang memberikan waktu
respon tercepat untuk menarik perhatian kepiting bakau adalah umpan yang masih
segar (dengan cirri-ciri berbau segar, mata bening, kulit belum pudar daging
cerah dan elastic) yaitu14,05 menit dibandingkan umpan busuk yaitu 20,39 menit
dari total pengamatan selama 60 menit.
2. Pengenalan seks dan perubahan
tingkah laku seksual
Teleostei
dan beberapa elasmobranch melakukan komunikasi dengan sinyal kimia untuk
mengontrol fertilitas, koordinasi seksual, dan koordinasi tingkah laku seksual.
Pada beberapa spesies, ikan jantan tertarik untuk berintegrasi dengan betina
melalui bau. Steroid seks merupakan salah satu bahan kimia yang secara spontan
membangkitkan afinitas elektrik organolfaktori. Pada ikan mas misalnya, jantan
dewasa dapat membedakan ikan betina matang gonad melalui feromon yang
terkandung dalam cairan ovary yang dilepaskan sesaat setelah ovulasi. Substansi
daya tarik dari gonad umumnya bersumber dari feromon seks yang terlarut dalam
air. Ikan guppy (Poecilia reticulate) jantan tertarik pada air yang sebelumnya
ditempati betina, terutama oleh betina yang sedang bunting. Feromon seks juga
menyebabkan sinkronisasi pelepasan sperma dari jantan dan telur dari betina
ikan karper (Cyprinus carpio) sehingga pembuahan dapat terjadi secara efektif.
Selain itu, ikan-ikan betina yang siap memijah biasanya akan mengeluarkan
pheromone atau bau-bauan tertentu sehingga menarik kehadiran ikan jantan.
Peran
fungsional olfaction dalam proses reproduksi mulai dari atraksi awal dan
pengenalan status seksual ke pengembangan seksual. Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa hormone dan metabolism ikan dapat bertindak sebagai
reproduksi feromon. Ovarian feromon pada kedua jenis ikan tersebut tidak hanya
untuk perilaku mendekati lawan jenis tetapi juga menghindari perkelahian pada
ikan jantan yang menunjukkan perilaku agresif pada ikan betina. Hormone steroid
dikenal untuk mempengaruhi mekanisme penciuman, terutama mempengaruhi area otak
yang mempengaruhi kendali gelembung penciuman.
Analisis
elektro fisiologi terhadap bahan kimia lebih lanjut menunjukkan bahwa lender
ingus ikan salmon berisi komposisi asam amino spesifik yang berfungsi sebagai
rangsangan penciuman. Beberapa jenis ikan dapat mengenali ikan lain dengan
bantuan lender ingus (Purbayanto dkk., 2010).
Menurut
Maruska dan Fernald (2012) dalam penelitiannya tentang chemosensory sinyal urin
pada ikan A. burtoni, ikan jantan umumnya memiliki frekuensi pengeluaran urin
yang lebih tinggi ketika bertemu dengan betina yang sudah matang gonad. Selain
itu, urin yang dikeluarkan jantan diduga senyawa yang merangsang ovulasi pada
betina. Selain itu, kita juga berspekulasi bahwa tanpa umpan balik penciuman dari betina untuk menunjukkan apakah dia menerima, jantan dapat terus mencoba merangsangnya dengan melepaskan lebih banyak urin. Rosenthal dkk., (2010) juga menjelaskan bahwa ikan
Swordtail menggunakan urin sebagai isyarat kimia dalam perilaku seksnya. Ikan tersebut akan mengeluarkan lebih banyak
urin ketika berada di dekat betina.
E.
Ancaman toksin terhadap fungsi
feromon dalam penciuman ikan
Sebagai
penerima sinyal kimia dalam lingkungan air serta sebagai sarana komunikasi
dalam tingkah laku ikan, feromon sangat rentan terhadap gangguan keseimbangan
lingkungan. Gangguan kesimbangan lingkungan yang dimaksud dapat berupa proses
pencemaran yang diakibatkan oleh logam ataupun pestisida yang mengandung
zat-zat berbahaya seperti Fungisida IPBC
(3-iodo-2-butil propunil carbomate) dapat membawa efek
negative terhadap fungsi feromon berupa perubahan pada fungsi penciuman. Perubahan pada
fungsi penciuman dapat
dikategorikan sebagai: anosmia, hyposmia, dan dysosmia.
1. Anosmia
Anosmia adalah kelainan pada indra penciuman,
atau dalam kata lain ketidakmampuan seseorang mencium bau. Anosmia bisa berupa
penyakit yang berlangsung sementara maupun permanen.
2. Hyposmia
Hyposmia adalah suatu
kondisi dimana kapasitas mencium dari organ olfactory berkurang
3. Dynosmia
Dynosmia adalah kelainan
pada indra penciuman diman informasi penciuman tidak dapat diproses secara
benar
Terjadinya perubahan pada penciuman
ikan dapat menyebabkan ketidakeimbangan tingkah laku ikan itu sendiri karena
berkurang atau tidak adanya kemampuan yang dapat merespon perubahan lingkungan disekitarnya.
III.
KESIMPULAN
1. Feromon merupakan suatu stimuli
kimia yang digunakan oleh ikan sebagai alarm dan pengenalan spesies, pengenalan
wilayah, pendeteksian, pemilihan dan pengenalan makanan serta pengenalan seks
dan perubahan tingkah laku seksual.
2. Setiap feromon
yang berhembus dari tubuh, maka senyawa ini akan tercium oleh VNO dan
selanjutnya sinyal ini akan diteruskan ke hipotalamus (yang mengatur emosi
manusia) agar memberikan respon/tanggapan.
3. Feromon pada ikan sangat rentan
terhadap gangguan keseimbangan lingkungan.
DAFTAR
PUSTAKA
Elvidge
Chris K. dan Grant E.Brown. 2012. Visual
and Chemical Prey Cues as Complementary Predator Attractants in a Tropical
StreamFish Assemblage. International Journal of Zoology Volume 2012: 1-7
Fujaya
Y. 2004. Fisiologi Ikan.: dasar pengembangan teknik perikanan.
PT Rineka Cipta. Jakarta
Green, J dkk., 2012. Automated
high-throughput neurophenotyping of zebrafish social behavior. Journal of
Neuroscience Methods 210 (2012) 266– 271
Imre, I dkk., 2010. Use of
chemosensory cues as repellents for sea lamprey:Potential directions for
population management. Journal of Great Lakes Research 36 (2010) 790–793
Maruska
KP dan Fernald RD. 2012. Contextual
chemosensory urine signaling in an African cichlid fish. Experimental
Biology 215, 68-74
Purbayanto
dkk,. 2010. Fisiologi dan tingkah laku ikan pada perikanan tangkap.
PT Penerbit IPB Press. Bogor
Stowerd dan Logan. 2010. Olfactory mechanisms of stereotyped
behavior: on the scent of specialized circuits. Current
Opinion in Neurobiology 20:1–7
Stacey
dkk,. 2010. Chemical communication in
fish.
Tierney,
dkk. 2010. Olfactory tixity in fishes.
Aquatic tixity 96: 2-6
Wyatt,
T. 2010. Pheromones and signature
mixtures: deļ¬ning species-wide signals and variable cues for identity in both
invertebrates and vertebrates. J Comp Physiol A 196:685–700