Jumat, 22 Maret 2013

Fungsi Feromon Dalam Interaksi Sosial dan Perilaku Seksual IKan




I.      PENDAHULUAN

Tubuh dilengkapi dengan alat indra baik berupa fisik maupun kimia yang dapat menerima rangsang sehingga dapat mengetahui berbagai perubahan lingkungan. Berbagai perubahan lingkungan yang diterima oleh alat indra tersebut dilaporkan ke otak untuk selanjutnya dilakukan penyesuaian dengan cara perubahan tingkah laku atau metabolisme tubuh untuk mengatasi gangguan keseimbangan. Perubahan pola tingkah laku ikan sebagai respon dalam melakukan adaptasi di habitatnya merupakan hal yang sangat penting diketahui pada bidang perikanan baik dalam pengembangan teknologi penangkapan ikan maupun pembudidayaan ikan.
Peranan ilmu fisiologi ikan sangat signifikan dalam menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi penangkapan dan pembudidayaan ikan. Ilmu fisiologi ikan diperlukan untuk mengungkap informasi detail terkait dengan pola tingkah laku ikan sebagai manifestasi respon fisiologis terhadap stimuli dari dalam/luar lingkungan ekologinya. Dalam melakukan aktivitasnya, ada kebiasaan-kebiasaan tertentu pada ikan yang melibatkan reseptor kimia diantaranya adalah pencarian makan, pengenalan jenis kelamin (seks) pada suatu kelompok, membedakan antar individu pada satu kelompok spesies yang sama (schooling) atau kelompok yang berbeda (shoaling), mendeteksi penempatan dan kehadiran makanan, mencari pasangan, pemangsaan, atau mencari lokasi tempat bertelur (Hara 1993 dalam Purbayanto 2010).
Sinyal kimia membawa informasi dari satu hewan ke hewan lainnya. Sinyal tersebut diterima oleh organ pembau (olfactory) dan pengecap (gustatory). Sebagaimana yang dimiliki hewan darat, ian juga memiliki sinyal kimia yang dinamakan allomon dan feromon, bahan kimia yang disekresi dan disampaikan ke reseptor pembau dengan reaksi yang spesifik. Allomon adalah perantara kimia dengan adaptasi pada anggota spesies yang tidak sama yang berfungsi untuk menyerang atau untuk pertahanan. Sebaliknya, feromon bereaksi cepat diantara individu dalam spesies yang sama.
Seperti pada invertebrate dan vertebrata lainnya, ikan juga mengandalkan sistem komunikasi multisensoris dalam interaksi sosial dan seksualnya. Salah satu sistem indra yang digunakan dalam interaksi ikan baik terhadap lingkungan maupun pendeteksian makanan adalah indra penciuman. Indra penciuman sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup ikan. Fungsi penciuman ini biasanya melibatkan suatu senyawa kimia yang disebut feromon. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami akan membahas secara lebih jauh tentang fungsi feromon dalam interaksi dan perilaku seksual ikan.




II.       PEMBAHASAN

A.      Organ Penciuman
Dalam penerimaan rangsangan penciuman pada ikan seperti hewan lainnya yang berperan adalah olfactory bulb (Stower dan Logan2010). Secara umum olfaktori yang terdapat pada ikan serupa dengan organ nasal atau penciuman yang terdapat pada manusia, namun lubang/cuping hidung pada ikan jarang terbuka. Dasar bentuk hidung dibentuk oleh epithelium penciuman atau mukosa berupa lipatan/lamella berbentuk bunga ros (Gambar 1). Susunan bentuk dan tingkatan perkembangan lamella sangat bervariasi pada setiap spesies.
Gambar1. Susunan atau bentuk lamella
Keterangan:
a.       Posisi cuping hidung teleostei, b. epithelium olfactory; (vo) hidung depan; (ho) hidung belakang; (H) kulit yang menahan pergerakan aiar masuk ke dalam hidung depan

Organ penciuman ikan sangat berbeda dengan hewan lain. Menurut Evans (1940) cyclostomes pada ikan adalah monorhinal, yaitu mempunyai satu organ penciuman dengan satu lubang hidung. Secara umum, olfactory serupa dengan organ nasal untuk penciuman manusia. Akan tetapi struktur bentuk dan sistematika fungsinya terdapat perbedaan. Pada sebagian besar hewan bertulang belakang, letak olfactory bulb berdekatan dengan dinding rongga hidung dan bidang olfaktorinya pendek. Pada jenis ikan yang bertulang keras, letak olfaktori bulb dipisahkan dari telencephalon oleh bidango lfactory yang panjang (Hoar dan Randall 1970). Jadi, sistem penciuman ikan berisi tiga komponen neuroanatomikal yaitu epithelium penciuman, olfactory bulb, dan bidang terminal dalam otak (saraf pusat) (Stacey dkk., 2010).
Bau-bau umpan/makanan terlarut dalam air akan merangsang reseptor pada organ penciuman ikan sehingga menimbulkan reaksi terhadap ikan tersebut. Ikan mendeteksi adanya reseptor pembau dalam bentuk stimulus kimia. Stimulus tersebut melalui lubang hidung (nostril) dirubah dalam bentuk signal elektrik yang berasal dari gerakan silia yang kemudian melewati olfactory lamella yang berbentuk rosette. Sinyal yang dihasilkan pada olfactory lamella diteruskan pada olfactory bulb dan olfactory tract yang kemudian diterjemahkan pada otak telencephalon.
Gambar 2. Struktur organ penciuman pada ikan mulai dari organ lamella hingga otak bagian telenchepalon (dilihat pada posisi dorsal)
Penciuman ikn sangat sensitif terhadap bahan organik maupun anorganik yang dikenal melalui indera penciuman. Selanjutnya terdapat pula ikan yang dapat mengenal bau mangsanya, predator dan spesies sejenis. Bau-bau tersebut terlarut dalam air dan merangsang reseptor pada organ penciuman ikan sehingga menimbulkan reaksi pada ikan tersebut.
Fungsi organ olfactory pada ikan merupakan salah satu sistem reseptor kimia yang beradaptasi terhadap substansi kimia spesifik lingkungan, baik berupa bahan organic maupun anorganik. Dalam berbagai pola tingkah laku ikan, fungsi tambahan dari olfactory antara lain homing, migrasi, social, seksual dan perilaku yang berkenaan dengan kematangan gonad (Hara dalam Purbayanto 2010).

B.  Feromon dan fungsinya dalam respon penciuman ikan
Feromon, berasal dari bahasa Yunani ‘phero’ yang artinya ‘pembawa’ dan ‘mone’ ‘sensasi’. Feromon merupakan sejenis zat kimia yang berfungsi untuk merangsang dan memiliki daya pikat seks pada hewan jantan maupun betina. Zat ini berasal dari kelenjar eksokrin dan digunakan oleh makhluk hidup untuk mengenali sesama jenis, individu lain, kelompok, dan untuk membantu proses reproduksi. Berbeda dengan hormon, feromon menyebar ke luar tubuh dan hanya dapat mempengaruhi dan dikenali oleh individu lain yang sejenis (satu spesies) (Anonim, 2011).
Feromon merupakan subklas dari semiochemical yang digunakan untuk berkomunikasi antar species (intracpecific chemical signal). Sebenarnya feromon merupakan substansi yang disekresikan oleh setiap individu dan diterima oleh individu yang lain dalam satu spesies pada perilaku khusus mereka, misalnya dalam perilaku harian (releaser feromon) proses perkembangan/ primer feromon. Kata feromon berasal dari bahasa yunani, yaitu pherein yang berarti membawa atau mentransfer dan dari kata hormone yang artinya menarik atau menstimulasi. Kerja feromon diantara individu berlawanan dengan kerja hormone sebagai signal internal dalam satu individu. Beberapa fungsi feromon yaitu sebagai sex pheromone dan aggregation pheromone. Selain itu, menurut Green (2012) dalam penelitiannya tentang Automated high-throughput neurofenotipe perilaku sosial ikan zebra, feromon dapat menghasilkan peningkatan shoaling pada ikan Zebra. Feromon digunakan sebagai cara oleh beberapa hewan yang berbeda untuk berkembangbiak, yaitu digunakan untuk mengenali jenisnya. Dalam suatu populasi pheromon berfungsi untuk menunjukkan status suatu individu ikan agar dapat dikenali oleh individu lainnya. Feromon sebagai isyarat kimia banyak digunakan oleh spesies-spesies centrarchid, salmonid (jenis ikan-ikan salmon), cyprinid (jenis ikan hias), cyprinodontiform (jenis ikan hias), esocid (kelompok ikan air tawar atau air payau), dan poeciliid (jenis ikan hias) (Elvidge dan Brown, 2012). Ikan-ikan betina yang siap memijah biasanya akan mengeluarkan pheromon atau bau-bauan tertentu sehingga dapat menarik kehadiran ikan jantan.  Pheromon dan bau-bauan juga digunakan untuk mengenali kehadiran ikan lain yang berbeda spesies atau berasal dari populasi yang berbeda.  Mekanisme ini  digunakan oleh ikan untuk mempertahankan daerah teritorialnya dari ikan asing.  Pada ikan Goldfish, sex pheromone juga digunakan oleh ikan jantan untuk membedakan ikan betina yang sudah matang kelamin dengan ikan betina yang belum matang kelamin (Anonim, 2011).
Senyawa feromon dapat menimbulkan rasa ketertarikan antara spesies yang berlainan jenis dimana cara kerjanya sebagaimana layaknya inisiator/pemicu dalam reaksi-reaksi kimia. Prosesnya adalah ketika spesies yang berlainan jenis berdekatan dan bertatapan mata, maka feromon yang kasat mata dan volatil, akan tercium oleh organ tubuh manusia yang paling sensitif yaitu vomeronasalorgan (VNO) yaitu organ dalam lubang hidung yang mempunyai kepekaan ribuan kali lebih besar daripada indera penciuman. Organ VNO ini terhubung dengan hipotalamus pada bagian tengah otak melalui jaringan-jaringan syaraf.
Setiap feromon berhembus dari tubuh, maka senyawa ini akan tercium oleh VNO dan selanjutnya sinyal ini akan diteruskan ke hipotalamus (yang mengatur emosi manusia) agar memberikan respon/tanggapan. Tanpa perlu menunggu lama hanya setiap sepersepuluh ribu detik, maka akan ada respon dari otak melalui perubahan psikologis tubuh manusia baik itu perubahan pada detak jantung (berdetak lebih kencang), pernafasan (beraturan atau tidak), temperatur tubuh (panas dingin), nafsu, peningkatan pada kalenjar hormon baik itu kalenjar keringat, dan kerja dari produksi hormon testoteron (pada jantan) atau hormon esterogen (pada betina) (Anonim, 2010).
Tabel 1. Klasifikasi isyarat penciuman dan signifikansi perilaku

Feromon
Isyarat Naluriah
Bau
Defenisi sosial









Contoh
Isyarat kimia yang dipancarkan oleh salah satu anggota spesies yang memprovokasi perilaku tertentu atau respon fisiologi ketika terdeteksi oleh anggota yang lain dari spesies yang sama
Protein urin utama (Mups) ditemukan dalam urin mencit jantan dewasa yang menginisiasi perilaku agresif pada pejantan saingannya
Isyarat kimia yang mengasoasikan suatu konservasi, perilaku stereotip dari eksposur pertama dan berikutnya



Bau nasi basih membuat penghindaran pada hewan pengerat
Bahan kimia yang mengkodekan secara kontekstual bergantung pada kualitas persepsi dan dapat memicu asosiasi atau pembelajaran perilaku dengan pelatihan yang tepat


Tikus dengan cepat belajar bau yang dipasangkan dengan hadiah dan akan lebih memilih bau pada eksposur berikutnya
C.      Mekanisme kerja Feromon pada Ikan
Pada dasarnya, semua organisme termasuk selain insecta, menghasilkan feromon melalui kelenjar eksokrin. Kelenjar eksokrin adalah kelenjar yang mempunyai saluran untuk mengeluarkan produknya atau bermuara pada permukaan apikal. Setelah kelenjar eksokrin memproduksi feromon, feromon akan diteruskan ke abdomen. Dari abdomen, feromon akan dikeluarkan dan akan ditangkap berupa sinyal pada spesies sejenisnya.  Sinyal tersebut kemudian diterjemahkan menjadi sebuah rangsangan.
Ransangan yang diterjemahkan dari sinyal kimia yang dihasilkan  dikatakan berhasil saat mencapai konsentrasi tertentu. Artinya, semakin dekat jarak antara spesies yang mengeluarkan rangsangan dan target penerima ragsangan maka konsentrasinya semakin tinggi, demikian pula semakin menjauh dari sumber emisi konsentrasi semakin rendah dan tidak mampu menimbulkan rangsang. Dengan demikian terbentuk semacam ruang tempat suatu spesies atau organisme lain menangkap isyarat atau rangsang kimiawi untuk kemudian bereaksi menanggapi rangsang tersebut. Selain itu. Jika feromon dilepaskan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka ruang kaif akan menjadi cukup besar. Ruang aktif yang lebih besar diperlukan bila penerima rangsangan memiliki alat deteksi isyarat yang sangat peka dibandingkan bila penerima memiliki alat yang peka. Namun adapula feromon yang mampu menarik spesies lawan jenis pada jarak yang cukup jauh, ada pula yang bekerja pada jarak dekat dan penerima rangsang menanggapinya dengan serangkaian perilaku “courtship” atau mencari pasangan. Feromon seperti ini tidak diproduksi secara terus menerus,tetapi hanya ketika suatu spesies mencapai usia cukup dewasa untuk kawin.

D.      Fungsi feromon pada Ikan   
Secara umum feromon pada ikan digunakan dalam interaksi sosial dan perilaku seksualnya.
1.        Dalam interaksi sosial, feromon diguanakan sebagai alarm dan pengenalan spesies, pengenalan wilayah dan untuk pendeteksian, pemilihan dan pengenalan makanan.

a.       Alarm dan pengenalan spesies
Feromon sebagai alarm biasanya digunakan ketika terjadi suatu keadaan bahaya. Dalam hal ini biasanya ikan-ikan akan mengeluarkan zat berupa lendir yang dikeluarkan melalui permukaan kulit dalam jumlah sedikit khusus untuk ikan ostariophysi (jenis ikan teleostei yang memiliki cirri-ciri bersisik/tidak, bersungut/tidak bersungut, memiliki duri tunggal atau berbelah dibagian muka atau bawah mata, pinggir ronggga mata bebas atau tertutup kulit, mulut agak kebawah dan tidak memiliki jari-jari lemah). Selain itu, pada ikan minnow (Phoksinus phoksinus) menyimpan feromon dalam sel epidermis khusus yang hanya akan terlepas jika sel tersebut rusak karena adanya gangguan dari lingkungan. Jika hal ini terjadi, ikan lain akan menyebar dan menghindar dari serangan lanjutan (Purbayanto dkk., 2010).
Selain itu, feromon juga dapat mempengaruhi tingkah laku social ikan khususnya untuk membedakan antara dua ikan dari spesies yang sama serta pola tingkah laku ikan ketika terjadi persaingan dan pada akhirnya ada yang mengambil sikap menyerah ketika salah satu pihak sudah keluar menjadi pemenang (Fujaya, 2004).
Maruska dan Fernald (2012) menyatakan bahwa pada ikan A. burtoni yang dominan, fungsi feromon dalam tingkah laku sosialnya dikeluarkan melalui urin. Sinyal kimia urin digunakan dihadapan pejantan dominan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa, selain sinyal visual seperti perubahan warna [misalnya eye-bar gelap selama agresi  dan perilaku teritorial [misalnya menampilkan lateral, ancaman frontal, mengejar, gigitan, perebutan perbatasan], pejantan dapat memanfaatkan komunikasi kimia untuk menyampaikan tingkatan sosial, kepemilikan wilayah, motivasi atau tingkat agresi. Dengan demikian, hal itu juga mungkin menunjukkan bahwa pelepasan urin dari pejantan yang dominan berfungsi untuk menekan pejantan dominan lain di dekatnya, terlepas dari konteks sosial tertentu (misalnya teritorial atau reproduksi). Pejantan dominan ikan Nila O. mossambicus juga terbukti menyimpan urin dan kemudian melepaskannya untuk secara aktif menunjukkan status dominasi mereka, mungkin untuk memodulasi tingkat agresi pada pejantan saingannya dalam lek.
Selain ikan Nila,  Imrei dkk (2011) juga menyebutkan bahwa jenis ikan Lamprey juga memanfaatkan sinyal kimia sebagai alarm untuk mengetahui adanya predator. Sinyal kimia tersebut dianggap dapat lebih menguntungkan dibandingkan isyarat visual karena mereka bisa bertahan lebih lama di lingkungan dan dapat memberikan informasi tentang keberadaan predator yang tersembunyi atau yang disamarkan oleh warna, gelap atau kekeruhan dari air. Berikut adalah gambaran tahapan evolusi sinyal kimia ikan sebgai respon terhadap rangsangan dari lingkungan.

Gambar  3. Tahapan evolusi sinyal kimia ikan sebagai respon atas rangsangan dari lingkungan

Berdasarkan gambar 2 dapat diketahui bahwa pada awalnya ketika seekor ikan (ikan A) mengeluarkan suatu zat kimia, ikan lain (ikan B) biasanya tidak akan langsung merespon dengan mengeluarkan zat kimia dalam tubuhnya juga. Tetapi ia akan bertindak spionase atau memata-matai ikan A yang secara terus menerus mengeluarkan zat kimianya. Lama kelamaan ikan B akan merespon dengan cara mengeluarkan pula zat kimia dari dalam tubuhnya sehingga terbentuklah komunikasi antara pemberi signal dan penerima respon.



b.             Pengenalan wilayah
Peranan feromon dalam pengenalan wilayah dapat dicermati pada tingkah laku ikan salmon yang melakukan pemijahan di sungai kemudian bermigrasi kelaut dan kembali lagi kesungai ketika akan meninggal. Feromon merupakan penggerak bagi larva ikan salmon (smolt) selama melakukan migrasi kelaut. Dalam perjalanannya menuju laut, smolt akan merekam berbagai ciri-ciri bau khusus sepanjang perjalanannya pada electroencephalogram yang terdapat pada indra penciuman. Bau ini diduga tidak hanya dari feron tetapi juga dari lingkungan seperti bau tanah dan tumbuhan yang dijumpai. Selanjutnya orientasi migrasi kembali kesungai bergantung pada pengenalan karakter bau air yang terekam selama migrasi ke laut pada fase smolt.
Feromon memegang peranan penting didalam komunikasi ikan. Pada ikan, feromon memiliki berbagai fungsi diantaranya adalah sebagai pembawa pesan bahwa keadaan dalam bahaya, signal untuk membedakan dua ikan dari spesies yang sama.

c.              Pendeteksian, pemilihan dan pengenalan makanan
Berdasarkan penelitian tentang pengenalan makanan pada ikan air tawar dan ikan air laut dengan organ olfactory, ikan dapat mengenali makanan melalui bau. Pendeteksian mangsa jenis ikan Ictalurus nebulosus hilang ketika olfaction terhalangi. Sebaliknya, jenis bullhead menunjukkan perilaku pencarian makan menggunakan organ penciuman epitheliumnya, bahkan dengan forebreinnya (Purbayanto dkk., 2010).
Berbeda dengan ikan lainnya, ikan Madidihang dapat mendeteksi dan membedakan antara bau mangsa secara tetap. Berdasarkan penelitian Widhiastuti (2007), bahwa umpan yang memberikan waktu respon tercepat untuk menarik perhatian kepiting bakau adalah umpan yang masih segar (dengan cirri-ciri berbau segar, mata bening, kulit belum pudar daging cerah dan elastic) yaitu14,05 menit dibandingkan umpan busuk yaitu 20,39 menit dari total pengamatan selama 60 menit.



2.    Pengenalan seks dan perubahan tingkah laku seksual
Teleostei dan beberapa elasmobranch melakukan komunikasi dengan sinyal kimia untuk mengontrol fertilitas, koordinasi seksual, dan koordinasi tingkah laku seksual. Pada beberapa spesies, ikan jantan tertarik untuk berintegrasi dengan betina melalui bau. Steroid seks merupakan salah satu bahan kimia yang secara spontan membangkitkan afinitas elektrik organolfaktori. Pada ikan mas misalnya, jantan dewasa dapat membedakan ikan betina matang gonad melalui feromon yang terkandung dalam cairan ovary yang dilepaskan sesaat setelah ovulasi. Substansi daya tarik dari gonad umumnya bersumber dari feromon seks yang terlarut dalam air. Ikan guppy (Poecilia reticulate) jantan tertarik pada air yang sebelumnya ditempati betina, terutama oleh betina yang sedang bunting. Feromon seks juga menyebabkan sinkronisasi pelepasan sperma dari jantan dan telur dari betina ikan karper (Cyprinus carpio) sehingga pembuahan dapat terjadi secara efektif. Selain itu, ikan-ikan betina yang siap memijah biasanya akan mengeluarkan pheromone atau bau-bauan tertentu sehingga menarik kehadiran ikan jantan.
Peran fungsional olfaction dalam proses reproduksi mulai dari atraksi awal dan pengenalan status seksual ke pengembangan seksual. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa hormone dan metabolism ikan dapat bertindak sebagai reproduksi feromon. Ovarian feromon pada kedua jenis ikan tersebut tidak hanya untuk perilaku mendekati lawan jenis tetapi juga menghindari perkelahian pada ikan jantan yang menunjukkan perilaku agresif pada ikan betina. Hormone steroid dikenal untuk mempengaruhi mekanisme penciuman, terutama mempengaruhi area otak yang mempengaruhi kendali gelembung penciuman.
Analisis elektro fisiologi terhadap bahan kimia lebih lanjut menunjukkan bahwa lender ingus ikan salmon berisi komposisi asam amino spesifik yang berfungsi sebagai rangsangan penciuman. Beberapa jenis ikan dapat mengenali ikan lain dengan bantuan lender ingus (Purbayanto dkk., 2010).
Menurut Maruska dan Fernald (2012) dalam penelitiannya tentang chemosensory sinyal urin pada ikan A. burtoni, ikan jantan umumnya memiliki frekuensi pengeluaran urin yang lebih tinggi ketika bertemu dengan betina yang sudah matang gonad. Selain itu, urin yang dikeluarkan jantan diduga senyawa yang merangsang ovulasi pada betina. Selain itu, kita juga berspekulasi bahwa tanpa umpan balik penciuman dari betina untuk menunjukkan apakah dia menerima, jantan dapat terus mencoba merangsangnya dengan melepaskan lebih banyak urin. Rosenthal dkk., (2010) juga menjelaskan bahwa ikan Swordtail menggunakan urin sebagai isyarat kimia dalam perilaku seksnya.  Ikan tersebut akan mengeluarkan lebih banyak urin ketika berada di dekat betina.   

E.       Ancaman toksin terhadap fungsi feromon dalam penciuman ikan
Sebagai penerima sinyal kimia dalam lingkungan air serta sebagai sarana komunikasi dalam tingkah laku ikan, feromon sangat rentan terhadap gangguan keseimbangan lingkungan. Gangguan kesimbangan lingkungan yang dimaksud dapat berupa proses pencemaran yang diakibatkan oleh logam ataupun pestisida yang mengandung zat-zat berbahaya seperti Fungisida IPBC (3-iodo-2-butil propunil carbomate) dapat membawa efek negative terhadap fungsi feromon berupa perubahan pada fungsi penciuman.  Perubahan pada fungsi penciuman dapat dikategorikan sebagai: anosmia, hyposmia, dan dysosmia.
1.      Anosmia
Anosmia adalah kelainan pada indra penciuman, atau dalam kata lain ketidakmampuan seseorang mencium bau. Anosmia bisa berupa penyakit yang berlangsung sementara maupun permanen.
2.      Hyposmia
Hyposmia adalah suatu kondisi dimana kapasitas mencium dari organ olfactory berkurang
3.      Dynosmia
Dynosmia adalah kelainan pada indra penciuman diman informasi penciuman tidak dapat diproses secara benar

Terjadinya perubahan pada penciuman ikan dapat menyebabkan ketidakeimbangan tingkah laku ikan itu sendiri karena berkurang atau tidak adanya kemampuan yang dapat merespon perubahan lingkungan disekitarnya.


III.    KESIMPULAN

1.      Feromon merupakan suatu stimuli kimia yang digunakan oleh ikan sebagai alarm dan pengenalan spesies, pengenalan wilayah, pendeteksian, pemilihan dan pengenalan makanan serta pengenalan seks dan perubahan tingkah laku seksual.
2.      Setiap feromon yang berhembus dari tubuh, maka senyawa ini akan tercium oleh VNO dan selanjutnya sinyal ini akan diteruskan ke hipotalamus (yang mengatur emosi manusia) agar memberikan respon/tanggapan.
3.      Feromon pada ikan sangat rentan terhadap gangguan keseimbangan lingkungan.



DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Feromon perangsang sex pasangan. http://kibayu.wordpress.com/2010/09/25/. Diakses, 2 Oktober 2012

 Anonim. 2011. Feromon. http://indonesiakimia.blogspot.com/2011/05/. Diakses, 2 Oktober 2012

Elvidge Chris K. dan Grant E.Brown. 2012. Visual and Chemical Prey Cues as Complementary Predator Attractants in a Tropical StreamFish Assemblage. International Journal of Zoology Volume 2012: 1-7

Fujaya Y. 2004. Fisiologi Ikan.: dasar pengembangan teknik perikanan. PT Rineka Cipta. Jakarta

Green, J dkk., 2012. Automated high-throughput neurophenotyping of zebrafish social behavior. Journal of Neuroscience Methods 210 (2012) 266– 271

Imre, I dkk., 2010. Use of chemosensory cues as repellents for sea lamprey:Potential directions for population management. Journal of Great Lakes Research 36 (2010) 790–793

Maruska KP dan Fernald RD. 2012. Contextual chemosensory urine signaling in an African cichlid fish. Experimental Biology 215, 68-74

Purbayanto dkk,. 2010. Fisiologi dan tingkah laku ikan pada perikanan tangkap. PT Penerbit IPB Press. Bogor

Stowerd dan Logan. 2010. Olfactory mechanisms of stereotyped behavior: on the scent of specialized circuits. Current Opinion in Neurobiology 20:1–7

Stacey dkk,. 2010. Chemical communication in fish.

Tierney, dkk. 2010. Olfactory tixity in fishes. Aquatic tixity 96: 2-6

Wyatt, T. 2010. Pheromones and signature mixtures: defining species-wide signals and variable cues for identity in both invertebrates and vertebrates. J Comp Physiol A 196:685–700

2 komentar: